Bisnis yang Lahir dari Keberanian, Tersesat dalam Peta yang Tak Diperbarui
Setiap perusahaan besar dimulai dari satu ide brilian—sebuah gagasan yang mampu mengubah industri dan menciptakan standar baru. Tapi sering kali, ide brilian itu juga bisa menjadi belenggu ketika para pemimpinnya enggan melepaskannya. Founder yang dulu revolusioner bisa berubah menjadi penjaga status quo, konservatif dan terjebak dalam kejayaan masa lalu. Mereka melihat perubahan bukan sebagai peluang, melainkan ancaman. Dan di situlah awal erosi bisnis dimulai.
Sejarah bisnis telah mencatat berulang kali bagaimana perusahaan besar runtuh bukan karena kekurangan modal atau kalah bersaing secara teknologi, tetapi karena mereka dipimpin oleh orang-orang yang resisten terhadap perubahan. Mereka menolak mendengar tren pasar, meremehkan kebutuhan pelanggan yang semakin digital, dan menolak investasi dalam inovasi. Sementara mereka sibuk mempertahankan cara lama, startup kecil dengan pemikiran lebih fleksibel datang dengan pendekatan baru yang lebih cepat, lebih efisien, dan lebih relevan dengan zaman.
Lihat saja Kodak yang menolak inovasi kamera digital yang mereka ciptakan sendiri. Nokia yang mengabaikan smartphone layar sentuh dan tetap bertahan dengan sistem operasi usang. BlackBerry yang terlalu yakin bahwa keyboard fisik adalah masa depan. Hingga akhirnya, kompetitor datang dengan solusi yang lebih modern, lebih cepat, lebih efisien—dan menggeser mereka dari peta industri.
Di Indonesia, cerita yang sama juga berulang. Banyak bisnis legendaris yang seharusnya bisa bertahan puluhan tahun lagi, tetapi akhirnya tumbang karena pola pikir founder-nya yang menganggap digitalisasi bukan hal yang mendesak. 7-Eleven yang gagal memahami perubahan perilaku pelanggan urban, Nyonya Meneer yang tertinggal di era pemasaran digital, hingga banyak perusahaan retail konvensional yang kini hanya tinggal nama.
Baru-baru ini, beberapa perusahaan besar lainnya juga mengalami nasib serupa. JD.ID, platform e-commerce yang pernah berjaya, harus menutup operasionalnya pada Maret 2023 karena tidak mampu bersaing di pasar yang semakin kompetitif. Ini membuktikan bahwa digitalisasi saja tidak cukup—tanpa strategi yang tepat, efisiensi operasional, dan inovasi berkelanjutan, bisnis tetap bisa jatuh. JD.ID gagal mengoptimalkan daya saingnya melawan pemain besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada yang terus berinovasi dalam model bisnis, strategi pemasaran, dan efisiensi logistik.
Demikian pula, Tupperware, produsen wadah makanan ikonik, akhirnya mengajukan perlindungan kebangkrutan pada September 2024. Terlalu lama bergantung pada sistem penjualan konvensional membuat mereka kesulitan mengikuti perubahan perilaku konsumen yang kini lebih memilih pengalaman belanja yang serba instan dan berbasis digital.


Bukan Hanya Perusahaan Besar
Di tengah gelombang digitalisasi, bukan hanya perusahaan besar yang mengalami kejatuhan—usaha kecil dan menengah (UKM) pun banyak yang akhirnya gulung tikar karena gagal beradaptasi dengan perubahan. Meskipun UKM memiliki fleksibilitas lebih dibandingkan korporasi besar, pola pikir konservatif dan keengganan untuk bertransformasi sering kali menjadi faktor utama kejatuhan mereka.

Semua contoh ini memiliki satu kesamaan: mereka mampu beradaptasi, tetapi menolak melakukannya. Bukan karena tidak ada dana, bukan karena tidak ada peluang, tetapi karena ego lebih besar dari keinginan untuk bertahan. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah berhasil di masa lalu akan tetap relevan selamanya.
Padahal, sejarah bisnis telah membuktikan satu hal: tidak ada yang terlalu besar untuk gagal.
Apakah Bisnis Anda Perlu Berubah?
Di era digital ini, pertanyaannya bukan lagi apakah bisnis Anda perlu berubah? tetapi seberapa cepat Anda bisa berubah sebelum terlambat? Jika masih ada keraguan, maka bersiaplah melihat bisnis Anda menjadi korban berikutnya dari arus zaman yang tak bisa dihentikan.
Namun, tidak semua bisnis harus berakhir seperti itu. Beberapa perusahaan justru mampu bertahan dan berkembang karena dipimpin oleh founder yang berpikiran terbuka, adaptif, dan tidak terjebak dalam kejayaan masa lalu. Mereka tidak melihat digitalisasi sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk tumbuh lebih cepat, lebih efisien, dan lebih relevan dengan kebutuhan pelanggan masa kini.
Dengan strategi yang tepat dan implementasi yang terukur, transformasi digital bukan hanya menyelamatkan bisnis mereka, tetapi juga membawa pertumbuhan yang luar biasa. Bahkan, ada perusahaan yang pendapatannya melonjak hingga 400% hanya dalam dua tahun setelah mengambil langkah berani untuk beradaptasi.
Tentu saja, perubahan seperti ini tidak terjadi begitu saja.
Ada perencanaan yang matang, sistem yang dioptimalkan, dan eksekusi yang dilakukan dengan akurasi tinggi. Di balik perubahan besar ini, ada pihak yang memahami bagaimana teknologi bisa menjadi katalis pertumbuhan—bukan sekadar tren yang harus diikuti. Ada tim yang tidak sekadar berbicara tentang digitalisasi, tetapi benar-benar tahu bagaimana mewujudkannya.