Spreadsheet, Kopi dan Marketplace

Aku masih ingat betul sore itu, ketika telepon berdering dan nama adikku muncul di layar. Suaranya terdengar seperti biasa—tenang, lugas—tapi aku tahu ada sesuatu yang ingin ia bicarakan lebih dari sekadar permintaan teknis.
category:
Development
services:
WooCommerce
Date:
On Progress
programmer:
Rangga Ardhimarta
Spreadsheet
“Ga, bisa bikinin aplikasi buat stok barang di toko, nggak? Simpel aja, pakai Google Sheet juga nggak apa-apa. Mumpung masih jam tiga, ke sini aja naik motor, biar ngobrolnya enak.”
Aku melirik jam di dinding. Masih ada cukup waktu sebelum senja benar-benar turun. Tanpa pikir panjang, aku mengambil jaket, meraih helm, dan menyalakan motor. Bandung ke Cianjur bukan perjalanan yang dekat, tapi untuk hal seperti ini—obrolan yang lebih dari sekadar kode dan angka—aku tahu ini akan sepadan.
Aku tiba di terminal Cianjur saat langit mulai memudar, menyisakan warna jingga yang bersandar di balik perbukitan. Ini pertama kalinya aku ke rumahnya yang sekarang, jadi aku menunggu di bangku panjang terminal, memperhatikan lalu-lalang orang yang sibuk dengan tujuan mereka masing-masing. Tak lama, suara motor mendekat, dan adikku melambai dari kejauhan.
“Capek nggak? Langsung ke rumah aja, yuk,” katanya sambil menepuk bahuku ringan.
Kopi
Kami melewati jalan-jalan kecil, gang-gang sempit yang hanya cukup untuk satu motor, hingga akhirnya tiba di rumahnya. Rumah yang besar, tenang, dan nyaman, jauh dari kebisingan jalan utama. Begitu masuk ke dalam, aku langsung merasakan ketenangan—seakan waktu berjalan lebih lambat di tempat ini.
Setelah basa-basi sebentar, adikku menyalakan komputernya, sementara aku meregangkan bahu sejenak. Di meja, ada secangkir kopi yang aromanya langsung menguar, bercampur dengan hawa sejuk sore itu. Aku meraihnya, meniup uapnya perlahan sebelum menyeruputnya. Hitam, pekat, dan pahit—pas dengan suasana obrolan yang mulai mengarah ke sesuatu yang lebih serius.
“Aku udah bikin konsepnya, tinggal kamu yang eksekusi,” katanya sambil menyandarkan punggung ke tembok.
Aku mulai mengetikkan beberapa formula sederhana untuk aplikasi stok barangnya. Di sela-sela itu, obrolan pun mengalir ke arah yang lebih besar.
Marketplace
“Toko aku rame, Ga. Udah banyak pelanggan tetap. Tapi ya gitu, yang beli paling jauh dari Ciranjang,” katanya sambil menyandarkan punggung ke tembok, menatap langit-langit sejenak sebelum kembali berbicara. “Udah sering kepikiran, gimana caranya bisa lebih luas. Lebih dari sekadar toko di sini.”
Aku menghentikan sejenak ketikanku, menatapnya. Ada sesuatu di balik kata-katanya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar stok barang.
“Pernah coba main di Shopee atau Tokopedia?” tanyaku.
“Udah. Tapi barang aku sering nggak muncul di pencarian. Algoritmanya kadang susah ditebak. Aku tahu kualitas barang aku bagus, harga juga masuk akal, tapi kalau orang nggak nemu, ya sama aja bohong.”
Aku mengangguk pelan. Ini bukan masalah yang asing. Banyak bisnis kecil yang menghadapi kendala serupa—berlomba di marketplace besar, tapi kalah oleh aturan yang mereka sendiri tak bisa kendalikan.
“Makanya aku kepikiran punya e-commerce sendiri. Biar yang butuh laptop second berkualitas bisa langsung ke aku, tanpa harus kesasar di lautan produk lain yang nggak jelas.” Matanya berbinar saat mengatakan itu, seakan-akan sudah melihat masa depan tokonya yang lebih besar, lebih luas, lebih dari sekadar toko fisik di sudut kota.
Aku tersenyum. Ini bukan sekadar permintaan teknis lagi. Ini adalah langkah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dan aku tahu, ini akan menjadi perjalanan yang menarik.